Thursday 1 December 2016

+1

"aku benci melihat kau tertawa. aku benci suaramu yang terlalu renyah. aku benci nadamu yang terlalu merdu. aku benci tarikan ujung bibirmu yang melengkung sempurna. aku benci matamu yang berbinar bahagia. Aku benci condongan tubuhmu yang merapat. aku benci gerakan rambutmu yang membelai mesra. aku benci gerakan kakimu yang menyilang dan gemulai. aku benci rona pipimu yang memerah. aku benci pandangan matamu yang meneduhkan. aku benci melihat kau tertawa, bersamanya."

"aku bahagia dengan cara yang sederhana. kau tak perlu membuatnya rumit. kalau kau rumit. kau bukan bahagiaku."

"aku di luar ligamu. aku adalah penonton yang bersuara paling riuh di luar stadion. aku adalah yang bersorak paling keras, paling ricuh, dan paling liar. untuk mrenarik perhatianmu."

"mungkin kau rasa ini berlebihan, tapi bagiku ini adalah perjuangan, entah sampai sejauh mana kau bisa merasakan."

"akhirnya aku tahu harus apa. akhirnya aku tahu harus ke mana. akhirnya aku tahu harus bersikap bagaimana. akhirnya aku bisa lebih lega.
tidak perlu gusar kehilangan, tidak perlalu menyesal tak menahan, tidak perlu gelisah perpisahan."

Terima kasih, aku tak tahu apakah ada kata lebih dari itu, bila ada itu untukmu, untuk tulisanmu. Aku tak pernah merasa sebegitu indah dibenci dan dicinta secara bersamaan melalui sebuah tulisan, bila itu menyenangkan, bila itu memberimu kilatan inspirasi, kamu lanjutkan dan aku akan tetap membaca diam - diam.

Ini adalah cerita yang belum usai, hanya akhir dari sebuah bab, dan tak akan kuakhiri dengan titik,

No comments: