Friday 22 October 2021

Being Open To Vulnerability

Belakangan ini sering banget saya mendengar kata vulnerability, kata ini selalu dikaitkan dengan Kesehatan mental dan kondisi psikologis seseorang. Kalau arti dari beberapa artikel yang saya baca di google sih kata tersebut bermakna sebuah kondisi rentan yang bisa mengganggu kognitif dan psikologis seseorang, yang dapat menyebabkan depresi atau stress. Dan terbuka dengan sifat tersebut berarti kita bisa menerima kondisi diri kita sendiri atau orang lain yang rapuh, rentan dalam situasi yang tidak pasti.

Kenapa saya menulis mengenai salah satu kondisi dari kesehatan mental ini, karena saya pun sedang belajar untuk menerima kondisi ini secara pribadi, maupun dari orang-orang terdekat saya. Ketika saya mengenal seseorang yang baru, katakanlah seorang pria yang saya temui dari situs kencan, saya akan sampaikan bahwa cara untuk saling mengenal lebih dalam satu sama lain adalah dengan komunikasi. Ketika komunikasi lancar, hal ini dapat membuka semua obrolan dan diskusi, pun termasuk hal yang lebih dalam dan lebih serius lagi.

Tapi ternyata, komunikasi saja tidak cukup. Dari pengalaman yang saya alami beberapa kali, komunikasi itu hanyalah sebuah pondasi. Selanjutnya adalah tahapan yang akan saling mengisi. Katakanlah satu waktu, saya berkenalan dengan seorang pria, komunikasi kami lancar dan tidak pernah putus walaupun kami sibuk dengan pekerjaan dan hal lainnya masing-masing. Suatu ketika, saya menghadapi masalah keluarga yang sangat besar yang saya sendiri pun masih belum sanggup untuk mencernanya.  Pria tersebut menuntut agar saya dapat berbagi masalah yang sedang dialami tersebut, dan dari ucapannya terdengar bahwa dia tidak percaya dengan saya. Katanya, saya menjadi seorang pribadi yang berbeda ketika jauh darinya dan bertemu dengan keluarga saya. Sebetulnya, saya ingin berbagi keluh kesah dengannya dan menjadikannya tempat mengadu, tapi ternyata dia tidak bisa menunggu dan saya putuskan untuk tidak melanjutkan kedekatan kami.

Lain halnya dengan yang saya alami kemarin, ini kebalikannya, seorang pria (lainnya) mengatakan dia sedang menghadapi masalah yang cukup berat dalam hidupnya. Sebagai seseorang yang dekat dengannya, saya katakan bahwa dia bisa menceritakan apapun masalahnya kepada saya bila memang dia mau berbagi. Yang terjadi adalah, dia sangat membatasi komunikasi dan tidak bercerita apapun mengenai masalah dan kehidupannya. Sampai pada suatu kondisi di mana saya tidak dapat meneruskan kedekatan kami karena kondisi seperti ini hanya akan saling menyakiti.

Dengan sadar saya mengingat bahwa kejadian ini telah menjadikan saya mengalami posisi di kedua belah pihak, yang dituntut dan yang menuntut. Kemudian juga hal ini semakin membuat saya yakin ketika saya sedang mengikuti sebuah drama korea, di mana ceritanya pemeran utama pria mengalami masalah yang sangat berat dan menggangu kesehatan mentalnya, dan pacarnya, sang pemeran utama perempuannya bersedia menunggu pria tersebut untuk bercerita tanpa melepaskan genggamannya dan komunikasinya.

Jadi, selain komunikasi, untuk menerima seseorang dalam kondisi psikologis yang rentan, bersedia menunggu orang tersebut untuk terbuka dan menceritakan beban atau masalah yang dihadapinya juga sangat penting. Membagikan rasa takut dan rapuh dalam diri kita kepada orang lain tidaklah mudah, terlebih bagi orang mempunyai trust issue

Semua orang di dunia ini pasti memiliki masalah, baik besar atau kecil, yang menganggu kondisi mental dan psikologisnya. Mengenai sanggupkah kita terus memegang tangannya, menunggunya dan terus bersamanya sampai orang tersebut mampu berbagi, adalah sebuah kepercayaan dan kebahagiaan tersendiri.


Semoga kita semua dalam kondisi berkesadaran untuk selalu menjaga kesehatan mental.




Namaste

Friday 3 September 2021

Intellectual Orgasm

Sejujurnya, saya baru mendengar istilah Intellectual Orgasm itu beberapa hari yang lalu ketika saya bertemu dengan seorang pria, saya mengenalnya melalui salah satu aplikasi kencan yang saya gunakan. Malam itu kami bertemu sambil makan malam, kami ngobrol panjang lebar soal kesibukan sehari-hari, hobi, dan lain-lain, sampai dengan di satu waktu dia menyebutkan bahwa apa yang saya cari ternyata adalah kepuasan intelektual. 

Hal ini bikin saya sadar bahwa percakapan seperti ini yang saya idamkan, sebuah obrolan yang membuat saya menjadi berpikir, mengevaluasi diri, membangunkan rasa ingin tahu yang lebih dalam sehingga terjadilah percikan-percikan, baik itu dipikiran maupun di hati. Hehehe...iya hati, karena saya kenikmatan bertukar pikiran dan obrolan panjang itu tidak pernah saya temukan lagi setelah saya kehilangan kontak dengan seseorang yang saya berani menyebutnya "rumah".

Teman saya bilang, pembicaraan intelektual tersebut bisa saja menjadi toxic bila memang dari apa yang dibicarakan menggiring pada depresi, self-hatred, pesimisme, apatis dan tindakan lainnya, apalagi sampai menjadi anarkis. Nah, pengalaman atas kenikmatan dari diskusi intelegensia ini juga berpengaruh besar apabila apa yang dibicarakan itu semua di-amin-kan, tanpa disaring terlebih dahulu.

Untuk jenis kepuasaan seperti ini, saya tidak bisa mendapatkannya dengan mudah dan berharap setiap pembicaraan dengan teman pria baru membawa kenikmatan dan memberikan percikan. 

Saya juga tidak merasa bahwa saya orang yang pintar dengan intelegensi tinggi, saya hanya seorang yang suka mengobrol, suka mendengarkan dan belajar hal baru. Saya adalah penikmat akan sensasi klimaks dari pembicaraan yang membawa saya ke dunia baru.




Cheers!

Monday 21 June 2021

Bulan Paradoksal

Semua terjadi begitu cepat sampai saya tak sempat menarik napas sejenak. Hantaman bertubi-tubi rasanya membuat hati semakin keras dan menguras kantong air mata. Perjalanan dari Jakarta ke Bandung seolah memberikan saya waktu untuk berganti peran. Orang - orang terdekat mungkin sudah paham, bila saya ke Bandung, saya akan menjadi orang yang berbeda, orang yang jarang memegang ponsel, baik itu untuk berkomunikasi atau pun hanya untuk update sosial media. Peran yang saya jalankan membuat saya menerima 2 komplain mengenai hal ini dari orang yang baru mengenal saya kemarin sore.

27 Februari 2020 lalu Bapak meninggal, tepat sebelum pandemi di Indonesia dan lockdown total. Sepanjang tahun 2020, karena pandemi dan hal lainnya saya semakin jarang pulang ke Bandung. Keluarga besar saya sudah mengecap saya sebagai anak durhaka yang lupa dengan orang tua. 15 bulan lebih 1 hari kemudian, Mamah menyusul Bapak. 28 Mei 2021 adalah hari di mana saya tidak memiliki orang tua lagi.

Masalah tidak hanya berasal dari saya yang dicap sebagai anak yang lupa akan orang tua saja, masalah lain bermunculan yang harus diselesaikan dengan benar dan dalam tempo secepatnya. Masalah yang tentu saja menyita perhatian, energi, materi dan hal - hal lainnya. 

Semesta mengatur dengan caranya sendiri, ada kelahiran, kematian, tangis, tawa, perpisahan, pernikahan dan kebersamaan yang terjadi di keluarga kami dengan serentak. Saya menjalaninya sebagai sebuah tanggung jawab, anak terhadap orang tua, adik terhadap kakak, sebagai seorang kakak yang melindungi dan memastikan adik-adiknya dalam keadaan baik, sehat dan waras, dan tanggung jawab sebagai bagian dari keluarga. 

Peran yang dijalani terkadang membuat saya meneteskan air mata, saya masih manusia. Saya tidak baik-baik saja, tapi tetap berusaha untuk menjalani semuanya dengan sebaik-baiknya. 


Om tare tuttare ture soha


Friday 12 March 2021

Menjaga Cahaya

Syarat dari pekerjaan yang kutawarkan tidaklah sulit, cukup menjaga agar cahaya itu tetap menyala,
Namun para penjaga itu berguguran, hari demi hari, minggu demi minggu, menjadi bulan, lalu berubah tahun,
Kutanya apakah sesulit itu untuk menjaganya? 
Sebagian menjawab tak bisa menahan panasnya, sebagian lagi hanya berkata mereka tak sanggup memelihara baranya,
Kemudian aku bertanya, tak adakah yang cukup berani dan bernyali merawat kilau itu agar senantiasa berpendar indah?
Datanglah seorang yang berkata bahwa dia akan menjaga dan memelihara sinarnya, asalkan aku turut serta,
Untuk berapa lama?
Sepanjang kau bisa tantangnya,
Kuperingatkan, jangan beri aku tantangan karena kau mungkin akan kewalahan,
Dia hanya menjawab, waktu yang akan membuktikan.

Cahaya lalu menyala indah, hari demi hari, minggu menjadi bulan, bulan menjadi tahun,
sampai kusadari hanya akulah yang bekerja di sini,
Penantang itu hanya duduk diam menikmati indahnya binar yang berpantulan gemerlap.

Suatu hari, aku sudah tak sanggup lagi,
Tak bisa kubiarkan tetap begini, berlelah sendiri,
Jika pada akhirnya hanya aku yang menjaganya, maka aku tak perlu siapapun lagi untuk pekerjaan itu,
Cahayanya akan ku jaga sendiri,
Sinar gemerlapnya akan ku nikmati seorang diri,
Ternyata menjaga cahaya bukan perkara sulit,
Dengan atau tanpa teman menyertai,
Cahaya itu akan kubuat tetap menyala, selamanya.