Saturday 29 April 2017

Tantangan

Manusia terkadang bisa dipaksa hingga mencapai titik terjauhnya bila menghadapi sebuah tantangan, hal itu bisa untuk hal apapun dalam hidiupnya. Saya, juga mendapatkan beberapa hal yang menjadi tantangan belakangan ini. Setelah resign dari perusahaan sebelumnya yang mewajibkan saya untuk selalu datang ke kantor setiap hari Senin sampai Jumat dari pukul 9.00 sampai pukul 18.00 atau bahkan lebih, adalah sebuah tantangan bagi saya ketika menghadapi kultur di perusahaan baru. 
Perusahaan yang sekarang ini, rata-rata staffnya melakukan pekerjaan secara remote, bekerja dari mana saja asal selalu dalam keadaan online dan standby jika diminta datang atau meeting ke suatu tempat. Adalah sebuah tantangan bagi saya untuk bekerja hampir setiap hari dari tempat saya tinggal, untuk menghindari godaan bermalasan dan menunda-nunda pekerjaan, saya menyiasatinya dengan bangun pagi, mandi dan bersiap-siap selayaknya saya pergi ke kantor. Selama bekerja, saya berusaha untuk tidak melirik kasur atau berpikiran untuk rebahan sebentar. Dari 3 minggu saya bekerja di rumah, baru hari ini saya KO, tergoda kasur yang empuk, AC yang dingin, ditambah mata berat akibat tidur terlambat malam sebelumnya dan makan siang yang nikmat, ternyata tidur siang di hari kerja itu lebih nikmat lagi, hehehe.

Tantangan kedua adalah bagaimana saya mengubah pola pikir saya dari menjual jasa untuk membantu distribusi dan operasional menjadi menjual jasa untuk membantu promosi melalui digital yang sayanya juga belum paham-paham banget sama dunia digital marketing ini. Pernah disuatu meeting ketika klien membahas "dapur"nya digital marketing, saya cuma bisa terkesima dengan apa yang didiskusikan sambil mencatat dalam hati, istilah-istilah apa yang harus saya pelajari nanti biar saya bisa satu frekuensi ketika sedang dalam diskusi.

Yang ketiga ini tantangan yang lebih personal, seperti dalam postingan saya sebelumnya bahwa saya ingin menulis apa saja kapan saja, bukan hanya menulis ketika saya sakit hati. Ketika sedang bercerita pada seorang teman dekat saya, bahwa saya ingin mencari pekerjaan sampingan karena dirasa waktu luang saya kurang bermanfaat bila dipakai hanya untuk main-main sosial media, dan teman saya menanggapinya dengan mengatakan coba saya belajar tentang content writing dan bila saya sanggup, saya ditantangnya untuk menjadi content writer dan menulis 2 artikel setiap minggu untuknya. 

Karena hal itulah tengah malam seperti ini saya terstimulus untuk menulis yang tak hanya melulu membahas soal hati dalam bentuk puisi dan terpacu untuk mempelajari masalah copywriting dan seluk beluknya. Mungkin kedepannya nanti, akan banyak tulisan saya sebagai latihan menulis artikel di sini diantara puisi atau prosa bila sedang ada inspirasi, semoga semangatnya tidak seperti pepatah hangat-hangat tahi ayam ya, hehehe.

Tuesday 18 April 2017

Bebas

Kadang ide itu muncul, tapi tidak ada kesempatan untuk menuliskannya, atau kalaupun ada, potongan kalimat itu terlalu pendek untuk ditulis menjadi sebuah tulisan di blog, dan saya kadang terlalu malas mencari ide lain dan atau menyambungkannya. Kadang keinginan kuat untuk menulis panjang itu ada, tapi selalu ada saja distraksi yang lebih kuat dan lebih menarik, sehingga saya lupa, apa yang akan saya tulis tadi.

Saya ingin menulis banyak hal, berkomentar sesuka hati saya, tentang hidup, tentang tanggapan saya melihat interaksi manusia, tentang politik yang sedang ramai dibicarakan, tentang kantor lama, tentang kantor baru, tentang perasaan saya, tentang keluarga tapi kemudian saya berpikir lagi, perlukah saya tuliskan semua? Blog bukan jurnal harian pribadi, karena masih dapat ditelusuri oleh orang-orang yang membenci, ya walaupun itu sudah terkunci dan dibatasi.

Saya ingin menuliskan tentang kekecewaan, tapi saya tidak mau dikatakan sebagai penulis yang hanya produktif bila sakit hati. Kekecewaan itu berbekas, dalam, seperti sebuah luka yang kamu sembuhkan tapi tidak sempurna, meninggalkan jejak, menjadi keloid, menjadi bekas luka sepanjang masa.
Tak perlu dibahas lebih panjang, cukup dengan saya tutup semua akses sosial medianya, sehingga orang-orang yang membenci saya kehilangan sebuah pembahasan seru, yang bisa dibicarakan berminggu-minggu, yang selalu menarik dalam obrolan dengan rokok dan segelas kopi.

Saya ingin berkata, saya merasa lega, tidak harus selalu bermuka dua, pura - pura bahagia, menahan air mata, mendengar tawa yang yang semakin menambah luka. Ini hidup, harus berlanjut tak perlu berlarut - larut.  Saya selalu ingin berkata, bertemanlah bila kamu ingin berteman tanpa ada alasan lain, komentarlah jika kamu ingin berkomentar, atau bencilah sebisanya kamu membenci, dan mencintalah tanpa kamu kenal esok lusa.