Wednesday 2 October 2019

Consciously Let The Wound Go

Pagi ini saya terbangun dari tidur dengan perasaan bingung. Bagaimana bisa saya memimpikan seseorang yang sudah lama tidak bertemu, tidak ada kontak sosial media atau kontak secara langsung bahkan saya tidak pernah mendengar kabar darinya. Didorong oleh rasa ingin tahu yang besar alias kepo, saya cek salah satu sosial medianya yang sudah lama tidak ada update. Menyusuri lini masanya dari waktu ke waktu, mengingat beberapa moment kami bersama, semakin membuat saya sadar bahwa ternyata peran saya tidak sebesar itu dalam hidupnya.
Jika memang ada luka di hati saya yang mungkin secara tidak sadar masih berbekas hingga sekarang, itu adalah sepenuhnya proyeksi, harapan, ekpektasi atau mungkin hanya imajinasi saya saja terhadap dirinya. Tidak pernah ada pernyataan, tidak pernah ada closure, yang dulu pernah ada hanya kabar angin berhembus kiri kanan, lirikan saat berpapasan, merasa nyaman dan saling mengandalkan di waktu yang tidak bersamaan, kemudian disusul sebuah undangan pernikahan.

Membaca lini masanya dan mengingat-ingat hal tersebut seperti meditasi untuk saya. Sebuah meditasi untuk menyembuhkan luka yang tidak saya sadari ternyata masih ada. Setelah beberapa tahun berlalu, hari ini saya melepaskan perasaan itu, perasaan yang ternyata meninggalkan luka dan dengan menyadarinya, merelakannya pergi, lukanya pun akan pergi dan sembuh.

Sebetulnya apa yang membuat saya tiba-tiba berbicara mengenai luka yang tanpa sadar ada dalam diri saya adalah karena saya sedang tertarik untuk menggali inner child emotions saya, ditambah lagi kemarin saya mendengar sebuah podcast yang membahas mengenai healthy relationship. Dengan mengetahui inner child emotions, saya bisa menyadari dari mana ketakutan dan trauma atau luka di hati saya berasal yang membentuk pribadi, emosi dan jiwa saya seperti sekarang.
Melalui sebuah prosesi meditasi, kita dapat mengetahui dari mana trauma itu muncul. Untuk kejadian saya ini, yang dipicu dari sebuah mimpi membuat saya semakin ingin menggali dan merelakan semua luka itu pergi. Mungkin untuk saat ini saya masih belum mundur jauh untuk menapaki jalur emosi saya, tapi ini adalah sebuah awal.

Semoga kita semua semakin sadar sepenuhnya akan diri kita masing-masing. Semoga kita semakin mendengar dan dapat berkomunikasi sepenuhnya dengan diri kita masing-masing. Pada tubuh, pada hati, pada emosi, pada jiwa dan pikiran.

Semoga kita semua hidup berkesadaran dan berbahagia,
Namaste.



Cheers!