Sejujurnya, saya baru mendengar istilah Intellectual Orgasm itu beberapa hari yang lalu ketika saya bertemu dengan seorang pria, saya mengenalnya melalui salah satu aplikasi kencan yang saya gunakan. Malam itu kami bertemu sambil makan malam, kami ngobrol panjang lebar soal kesibukan sehari-hari, hobi, dan lain-lain, sampai dengan di satu waktu dia menyebutkan bahwa apa yang saya cari ternyata adalah kepuasan intelektual.
Hal ini bikin saya sadar bahwa percakapan seperti ini yang saya idamkan, sebuah obrolan yang membuat saya menjadi berpikir, mengevaluasi diri, membangunkan rasa ingin tahu yang lebih dalam sehingga terjadilah percikan-percikan, baik itu dipikiran maupun di hati. Hehehe...iya hati, karena saya kenikmatan bertukar pikiran dan obrolan panjang itu tidak pernah saya temukan lagi setelah saya kehilangan kontak dengan seseorang yang saya berani menyebutnya "rumah".
Teman saya bilang, pembicaraan intelektual tersebut bisa saja menjadi toxic bila memang dari apa yang dibicarakan menggiring pada depresi, self-hatred, pesimisme, apatis dan tindakan lainnya, apalagi sampai menjadi anarkis. Nah, pengalaman atas kenikmatan dari diskusi intelegensia ini juga berpengaruh besar apabila apa yang dibicarakan itu semua di-amin-kan, tanpa disaring terlebih dahulu.
Untuk jenis kepuasaan seperti ini, saya tidak bisa mendapatkannya dengan mudah dan berharap setiap pembicaraan dengan teman pria baru membawa kenikmatan dan memberikan percikan.
Saya juga tidak merasa bahwa saya orang yang pintar dengan intelegensi tinggi, saya hanya seorang yang suka mengobrol, suka mendengarkan dan belajar hal baru. Saya adalah penikmat akan sensasi klimaks dari pembicaraan yang membawa saya ke dunia baru.
Cheers!
No comments:
Post a Comment